Smartphonemu Wahai Kartini
Aku
tahu, teknologi sangat berarti bagi bumi saat ini. Bahkan manusia tak akan bisa
bernafas tanpanya. Haha tenang saja, itu hanyalah sebuah ungkapan. Namun
kupikir ada benarnya juga ungkapan itu. Dari bangun tidur sampai akan tidur
lagi, kita tak bisa lepas dari teknologi. Bahkan sebagian dari mereka, tidur
ditemani dengan teknologi. Makan, minum, listrik, hiburan, dan komunikasi semua
kata lain dari teknologi.
Komunikasi
zaman sekarang sudah lebih canggih dari pada zaman dahulu. Aku ingat zaman
Raden Ajeng Kartini. Beliau gemar sekali sms-an melalui selarik kertas. Beliau
tulis pesan itu dengan bulpen yang terlumuri tinta. Mengirim surat kepada
teman-temannya yang di sayangi. Dari Belanda atau dari pojokan ruang yang masih
kosong. Beliau sering sekali curcol mengenai pendidikannya. Jika saja aku yang
beliau curhati, pastilah aku menganjurkannya untuk masuk ke SMEA saja. Tak
cocok rasanya jika beliau masuk ke STM. Sayang sekali kita berbeda generasi.
Sejujurnya
aku iri kepada beliau RA Kartini. Beliau bisa menikmati masa-masa curhatnya
yang indah. Remaja dimasanya bisa membagi waktu antara dunia nyata dan dunia
surat. Tak peduli seberapa asiknya berkirim surat, mereka akan tetap menatap
mata siapapun yang mengajaknya berbicara. Tak akan ada kata “sebentar ya, aku
mau balas surat dahulu”. Haha lucu rasanya jika aku membayangkan semua itu. Tak
ada yang namanya meme bernada melecehkan. Saling kirim meme-meme untuk
menertawai penjajahan Belanda yang kurang profesional kiranya. Penjajahan
sekejam itu masih bisa ditertawai para penggemar meme. Untung saja saat itu
harga kodak tak semurah sekarang ini.
Lihatlah
zamanku ini wahai Kartini. Lihat, rasakan, dan bercengkramalah. Coba ikuti gaya
hidup mereka yang saling berkirim surat layaknya kau dahulu. Kepraktisan ini
mungkin akan membuatmu tersenyum, atau mungkin malah tersedu. Kita disini dapat
berkirim surat bahkan seribu kali dalam sehari. Tak sebanding denganmu dahulu
yang mungkin hanya sebulan sekali, itu saja jika stok perangkomu masih ada.
Coba nikmati gadget kami yang hanya dengan sentuhan satu jari saja bisa
terkirim surat kemanapun. Budaya berkirim suratmu telah kami lestarikan.
Semakin
hari, semakin canggih pula alat ini. Tak hanya berkirim surat, bertatap wajah
pun kami bisa. Aku rasanya ingin membangunkanmu dan kuajak merasakan semua ini.
Pastilah lebih berkibar perjuanganmu.
Pada
suatu hari. Aku datang kerumah temanku yang pulang dari luar kota. Sudah lama
sekali aku tak menemuinya. Aku datang berniat untuk mengajaknya mengobrol atau
mengingat masa-masa kita dulu. Kedatanganku disambut baik olehnya, dan tentu
saja kedua smartphonenya juga turut menyambutku. Genggaman jabat tanganku
langsung saja digantikan dengan smartphonenya. Seolah tangannya tak mau
terlepas darinya. Aku mulai tak nyaman dengan hal ini. Kita mengobrol biasa,
namun belum lima menit dia menatap layar smartphonenya seolah aku tak ada
dihadapannya. Dia tertawa-tawa lalu cemberut dengan seenaknya, aku mulai
khawatir. Smartphone bahkan lebih bernyawa dari pada aku.
Di
era sekarang ini kotak hitam berlayar halus bahkan lebih berharga dari pada
sebuah persahabatan. Seseorang yang dekat terasa lebih jauh. Pandangannya
terhalang tembok tebal. Layaknya tembok berlin di Jerman yang sebenarnya
sekarang sudah runtuh. Aku merasa dihina oleh smartphone yang congkak. Dia
lebih diperhatikan dari pada aku yang bernyawa. Atau mungkin smartphone lebih
bernyawa dari pada manusia.
Sebenarnya
aku bukanlah anti smartphone, bukan juga seorang yang anti teknologi. Aku
pengguna teknologi yang taat. Aku tak mengkritik penggunaan teknologi. Hanya
saja jangan terlalu memanusiakan smartphone. baik kiranya jika lebih condong ke
memanusiakan manusia.
Nyebelin emang pas gt, makanya sebisa mgkn aku kalo diajak ngobrol ga pegang hp. Smartphoneku jahat hahaha
BalasHapusKalo ada temen yg pegang smartphone trus2 an wktu nongkrong bareng, bilang aja ke dia "temenan sana sama smartphone" wkwkwkwk
Hapus